08 Juli, 2009

GAYA BAHASA DAN PESAN MORAL DALAM CERITA PENDEK "AYAM" DALAM TINJAUAN STILISTIKA

GAYA BAHASA DAN PESAN MORAL DALAM CERITA PENDEK “AYAM”
DALAM TINJAUAN STILISTIKA

A. PENGANTAR
Ada dua jenis klasifikasi karya sastra, yaitu sastra interpretasi (interpretative literature) dan sastra pelarian (escape literature). Jenis sastra interpretasi ditulis untuk memperluas, memperdalam, dan mempertajam kesadaran kita tentang kehidupan. Sedangkan sastra pelarian merupakan jenis sastra yang dihasilkan khusus untuk hiburan.[1]
Ada suatu anggapan bahwa karya sastra sendiri merupakan refleksi dari dunia nyata atau realita, maka cerita pendek sebagai salah satu bentuk fiksi juga berangkat dari pelabuhan yang sama.[2] Banyak pula ahli sastra mengatakan logika cerita pendek atau logika peristiwa yang terjadi di dalam cerita pendek harus mencerminkan keadaan nyata atau realita. Dapat dipahami karena teori itu bertolak dari paham mimesis yang mengatakan bahwa karya seni merupakan tiruan dari alam (fakta). Teori itu mestinya tidak boleh diterima secara mentah, karena bagaimanapun karya seni termasuk karya sastra memang berangkat dari fakta yang kemudian dipadu dengan imajinasi pengarang hingga menghasilkan fakta “baru.” Maka logika cerita (peristiwa dalam cerita pendek) mestilah berada di dalam cerita pendek itu sendiri.[3]
Cerita pendek “Ayam” karya Sutardji Calzoum Bachri[4] merupakan produk karya sastra yang merefleksikan realitas kehidupan sosial penulisnya yang mampu mengasah kepekaan kita terhadap kehidupan di lingkungan sekitar kita. Cerita berkisar pada kehidupan seorang sstrawan yang tinggal di Jakarta, kota metropolitan. Cerita tersebut tentu saja juga menggambarkan kehidupan orang-orang yang tinggal di lingkungan ia tinggal dan orang yang tinggal di lingkungan ia bekerja.
Cerita yang sederhana ini amat menarik. Berawal dari keterpaksaan memelihara ayam akhirnya penulis menyadari akan perilaku yang dapat ditimbulkan dari kemiskinan. Yang unik dari cerita dalam cerpen ini adalah dimana kesadaran penulis tersebut terbangun karena kematian ayam-ayamnya, ayam-ayam yang penulis pelihara dengan keterpaksaan. Cerita tersebut disajikan dengan bahasa yang menarik dan mudah dicerna sehingga bisa menyentuh perasaan pembaca dan mempertajam keasadaran kita tentang realitas kehidupan sosial.

B. GAYA BAHASA CERPEN “AYAM” DALAM TINJAUAN STILISTIKA
Pusat perhatian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang pembicara untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Dengan demikian, style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa. Sesungguhnya gaya bahasa terdapat dalam segala ragam bahasa : ragam lisan dan ragam tulis, ragam sastra dan ragam nonsastra, karena gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu. Akan tetapi, secara tradisional gaya bahasa salalu ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks sastra tertulis.[5]
Gaya bahasa mencangkup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas, dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra.[6] Cerita pendek “Ayam” disajikan dengan gaya bahasa yang menarik dan mudah dicerna disebabkan penulis mampu memanfaatkan atau memanipiulasi pilihan leksikal. Kata, rangkaian kata, dan pasangan kata yang dipilih dapat menimbulkan pada diri pembaca suatu efek yang dikehendaki penulis.
1. Pemanfaatan Sinonim
Pemanfaatan sinonim terutama tampak pada nomina yang relative mempunyai banyak sinonim masing-masing dengan konotasinya ditunjukkan pada kata bercetak jiring pada kalimat di bawah ini :
a. Turun dari taksi, di halaman rumah di balik pohon jambu kerdil, di tanah sempit penuh dengan pepohonan perdu, sudah menunggu dua ekor anak ayam dalam sangkar burung.
Penggunaan kata kerdil yang berarti selalu kecil saja[7] menggambarkan betapa kekurang sukaan penulis pada situasi dan kondisi saat itu.
b. “Nabi Sulaiman sering gentayangan di tempat kurnma ini ditanam, jadi aku kira tentulah nenek moyang kurma ini pernah memberi makan Nabi Sulaiman,” aku bilang.
Penggunaan kata gentayangan alih-alih cerita menggambarkan betapa imajinasi penulis yang teramat luas terhadap peristiwa yang sudah ribuan tahun terjadi.
c. Di rumah kompleks yang hampir tak mensisakan secebis halaman, tak jarang ayam masuk ke dalam rumah hanya untuk menumpang berak di ruang depan.
Kata secebis berarti secarik, sepotong[8] pada kalimat di atas memberikan kesan bahwa penulis merasa kurang nyaman dengan lingkungan rumahnya terlebih lagi jika ayam peliharaannya masuk ke dalam rumah kemudian berak, hal itu membuat penulis merasa lebih kurang nyaman lagi.
2. Pemanfaatan Kata Asing
Penggunaan kata asing dalam suatu percakapan dapat menimbulkan berbagai kesan atau sekurang-kurangnya dimaksudkan untuk menimbulkan kesan tertentu, misalnya kesan intelektual, sok intelektual, atau wah![9]
Contohnya penyebutan made in China pada kalimat di bawah ini :

“Ah made in China,” kata istriku ketawa, “Jauh-jauh dari Baghdad masa made ini China”

Penyebutan kata tersebut pada saat istrinya berkomentar tentang oleh-oleh yang dibawa penulis memberikan kesan betapa kritisnya istri penulis yang akhirnya menjadikan penulis merasa terpojok dan memberikan tanggapan dalam cerpenyan sebagai berikut :

“Orang Irak Cuma bikin minyak dan kurma. Yang muarah-murah buatan China dan Bangladesh,” aku bilang.

Contoh pemanfaatan kata asing juga terdapat pada kalimat berikut :

“Life begins at two o’clock in the morning” kata guru yang memang hobi bahasa Inggris.

Episode ini menyiratkan intelektualitas penulis dan juga menggambarkan aktivitas penulis sebagai sosok seorang yang hidup dengan optimis dan menghargai waktu.
3. Pemanfaatan Anomali
Anomali merupakan pasangan atau persandingan kata yang tidak lazim, artinya bahwa pasangan yang demikian secara tradisional dan konvensional tidak serasi.[10]
Pemanfaatan anomaly pada cerpen “Ayam” seperti pada kata-kata bercetak miring dalam kalimat di bawah ini :
a. Dia bahkan hampir meraungkan tangis.
Kata meraungkan sebagai verba lazimnya dipersandingkan dengan adverbial keras-keras, bukan dengan tangis. Anomali ini membuat frasa tersebut menarik perhatian pembaca.
b. Tapi kainnya yang kuyup gemetar, kutangnya yang keriput dan basah, matanya yang kosong menatap menyumpal mulutku.
Kejelian penulis memilih kata dan persandingannya tampak pula dalam penggunaan kata kuyup yang disandingkan dengan kata gemetar. Anomali ini membuat pembaca lebih memfokuskan lagi kepekaannya terhadap cerita yang dibuat oleh penulis.
4. Pemanfaatn Metafor/Kiasan
Metafor atau kiasan adalah majas yang mengandung perbandingan yang tersirat sebagai pengganti kata atau ungkapan lain untuk melukiskan kesamaan atau kesejajaran makna di antaranya.[11] Di dalam perbandingan yang tersirat itulah sering terdapat anomali, misalnya dalam kalimat yang terdapat pada cerpen “Ayam” di bawah ini :

Tapi kainnya yang kuyup gemetar, kutangnya yang keriput dan basah, matanya yang kosong menatap menyumpal mulutku.

Kata kerja menyumpal yang berarti menutup dengan sumbat[12] bisa dilakukan dengan cara memasukkan benda konkret. Sedangkan pada cerpen tersebut susunan kata matanya yang kosong menjelaskan tentang tatapan seseorang yang kosong dimana tatapan tersebut bersifat abstrak. Jadi tentu saja tatapan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai benda yang bisa digunakan untuk menyumpal mulut si penulis. Dalam cerpen itu nampaknya tujuan penulis memilih kata itu adalah memberikan kesan kepada pembaca betapa sensitifnya perasaan penulis dengan realita yang sedang ia hadapi.
5. Pemanfaatn Personifikasi/Insanan
Seperti tampak pada istilahnya, dalam majas ini sesuatu yang bukan manusia/insan dibandingkan dengan atau diandaikan sebagai insan. Sifat-sifat insan diproyeksikan pada suatu barang yang tak bernyawa. Dalam hubungan itu, kalimat yang berikut ini menjadi lebih menarik :

Tapi kainnya yang kuyup gemetar, kutangnya yang keriput dan basah, matanya yang kosong menatap menyumpal mulutku.

Kutang merupakan benda mati yang berarti pakaian dalam wanita untuk menutupi payudara.[13] Kata tersebut disandingkan dengan kata keriput dimana kekeriputan ini hanya terjadi pada kulit manusia bukan pada kutang yang merupakan benda mati menjadikan kalimat pada cerpen tersebut menjadi lebih hidup dan bisa menguatkan daya imajinasi pembaca yang bisa memacu lagi ketertarikan pembaca.

Sampai dekat mulut jembatan, aku berpikir sekilas bagaimana baiknya melempar kantung plastik itu agar jangan tersangkut di semak-semak yang tumbuh di tikungan sungai.

Jembatan sebagai benda mati tentu saja tidak mempunyai mulut yang hanya dimiliki oleh manusia dan binatang. Jadi ini sebuah insanan dan merupakan penyimpangan semantic. Dalam konteks cerpen ini, mulut jembatan diartikan sebagai tempat yang terletak di bagian pinggir jembatan, tempat dimana penulis akan membuang bangkai ayam yang dibungkus dengan kantong plastik.

C. PESAN MORAL DALAM CERITA PENDEK “AYAM”
Cerita pada cerita pendek “Ayam” menggambarkan salah satu problem sosial yaitu problem kemiskinan yang terjadi di Jakarta. Jakarta sebagai kota metropolitan merupakan kota yang menjanjikan bagi masayarakat pendatang. Bagi mereka yang datang dengan dibekali keterampilan tentu saja Jakarta merupakan lading emas bagi mereka, namun bagi mereka yang datang tanpa membawa bekal keterampilan, Jakarta menjadikan mereka sebagai warga Negara yang miskin.
Kekayaan yang dimiliki oleh orang-orang yang berparadigma materialis membuat mereka enggan untuk menyisihkan hartanya bagi mereka yang miskin. Hal ini salah satunya digambarkan pada episode berikut :

Pohon akasia cepat tumbuhnya. Dan kompleks 500 rumah ini cukuplah luas. Tapi, tetap saja tidak tiap hari ada pohon yang harus dipangkas. Meski banyak penghuni di sini kelihatan cepat kaya, sering membuat rumah dengan model mutakhir, tapi tidak sering kuli-kuli yang berbaju hitam ini mendapat peluang membuang puing. Sekali pernah aku dengar tetanggaku bilang keras kepada mereka, “Pokoknya seribu perak, kalau tak mau saya suruh pembantu saya mengangkat puing ini”

Kemudian kemiskinan yang dihadapi oleh mereka orang-orang yang pergi ke Jakarta yang tidak dibekali dengan keterampilan membuat mereka bekerja sebagai kuli dan hidup dengan kesusahan. Dalam cerita tersebut digambarkan betapa kemiskinan dan kesusahan yang mereka alami telah membuat mereka tidak menghiraukan larangan agama, yaitu haramnya memakan bangkai binatang. Mereka berebut bangkai ayam milik penulis untuk makan mereka. Digambarkan pula dalam cerpen tersebut bangkai ayam tersebut akhirnya dimakan oleh Ibu tukang kopi dan pesuruh yang bekerja di tempat penulis bekerja.
Cerita pendek “Ayam” memunculkan kepekaan pada diri kita bahwa kemiskinan sebagai salah satu problem sosial masyarakat kita merupakan masalah kita bersama yang harus kita tanggulangi dengan saling membantu terhadap mereka yang sedang kesusahan.

D. PENUTUP
Kemampuan penulis dalam mengolah dan memanfaatkan pilihan leksikal membuat cerpen “Ayam” ini hidup. Ketepatan pilihan itu menimbulkan kepekaan bagi pembaca, seolah-olah pembaca berada di tengah mereka, antara pembaca dan pengarang. Efek kepekaan yang ditimbulkan menyebabkan pembaca tergugah kesadaran sosialnya terhadap problem kemiskinan.






Daftar Pustaka
Depdiknas. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta : Grafiti.
Supriyanto, Teguh. 2008. Teks dan Ideologi : Studi Sastra Populer Cerita Silat. Semarang : UNNES.
Thahar, Harris Effendi. 2002. Kiat Menulis Cerita Pendek. Bandung : Angkasa.
[1] Teguh Supruyanto, Teks dan Ideologi : Studi Sastra Populer Cerita Silat, (Semarang : UNNES, 2008), hlm. 14
[2] Harris Effendi, Kiat Menulis Cerita Pendek, (Bandung : Angkasa, 2002), hlm. 16
[3] Ibid., hlm. 7
[4] Lihat pada lampiran
[5] Panuti Sudjiman, Bunga Rampai Stilistika, ( Jakarta : Grafiti, 1993), hlm. 13
[6] Ibid., hlm. 14
[7] Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1991), hlm. 485
[8] Ibid., hlm. 175
[9] Panuti Sudjiman, Op. Cit., hlm. 27
[10] Ibid., hlm. 29
[11] Ibid., hlm. 29
[12] Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 974
[13] Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 547

Tidak ada komentar: