26 Januari, 2009

STAIN Purwokerto, Kampus Biru Kampus Masa Depan

Berawal dari keinginanku untuk memperbaiki diri, akhirnya aku putuskan untuk kuliah di STAIN Purwokerto.

Di kampus biru itulah aku mulai menyadari akan arti penting ilmu pengetahuan, di kampus biru itulah ku merajut benang intelektual, di kampus biru itulah ku mencari bekal untuk hidupku.

Kenangan di kampus biru itupun telah menjadi kenangan indah yang tak terlupakan.

Kenangan berproses dengan kawan-kawan kelas PAI 2 Angkatan 2003
Kenangan berproses dengan kawan-kawan di Jurusan Tarbiyah, Dakwah dan Syariah
Kenangan merajut benang intelektual bersama kawan-kawan pergerakan, PMII, HMI, IMM, KAMMI, dan LSIK
Kenangan berproses dengan kawan-kawan kos-kosan dalam wadah Forum Komunikasi Anak Kos (FOKUS)
Kenangan berproses bersama Dewan Asatidz wa Asatidzah TPQ Nur Iman Karang Jambu, Purwokerto
Kenangan berproses bersama dosen-dosenku, pak hartono, pak iin, pak kholid, dan dosen-dosen yang lain.

Sungguh kenangan itu telah terpatri di hatiku, ku rindu kampus biruku, STAIN Purwokerto.

Ku rindu kawan-kawanku
Ku rindu buku-buku perpustakaanku di kampus biru
Ku rindu tiap sudut bangunan kampus biruku
Ku rindu
Ku rindu
Ku rindu
Ku rindu kenangan-kenangan itu, rindu serindu rindunya.

TINJAUAN KRITIS TERHADAP PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL (UN) SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan suatu negara pendidikan memegang peranan yang amat penting untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara karena pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia.[1] Pendidikan juga sering dianggap sebagai aset bangsa yang paing berharga. Setiap tanggal 2 Mei di seantero nusantara kita merayakan hari pendidikan nasional, seakan ingin menegaskan bahwa pendidikan merupakan modal untuk membangun negeri ini. Tapi apa yang terlihat di lapangan sungguh berbeda bahkan ironis. Pendidikan yang semula diharapkan menjadi bekal buat membangun masyarakat Indonesia baru yang tercerahkan justru sebaliknya menjadi cobaan yang justru membuat bangsa ini kian terpuruk.[2] Sejalan dengan kenyataan itu, keberhasilam pembangunan nasional akan ditentukan oleh keberhasilan kita dalam mengelola pendidikan.[3]
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah dengan mengadakan evaluasi pembelajaran secara nasional dalam bentuk Ujian Nasional (UN). Ujian Nasional (UN) merupakan program evaluasi yang berfungsi selektif, yaitu untuk memilih peserta didik yang sudah berhak meninggalkan sekolah.[4] Ujian Nasional (UN) juga merupakan bentuk penilaian hasil belajar oleh pemerintah yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu yang digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu program dan satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan satuan pendidikan, dan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan (Pasal 68 PP No 19 Tahun 2005).[5]
Nilai kelulusan dalam Ujian Nasional (UN) yang setiap tahun meningkat diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan. Lalu bagaimanakah peran strategis Ujian Nasional (UN) sebagai program pemerintah yand diimplementasikan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia?
B. Pembahasan
1. Landasan Hukum Pelaksanaan Ujian Nasional
Ujian Nasional (UN) sebagai program evaluasi secara nasional dalam pelaksanaannya mempunyai landasan hukum yang kuat, antara lain :
a. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS khususnya pasal 35 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Dalam pasal 35 ayat 1 UU No 20 Tahun 2003 disebutkan 8 (delapan) Standar nasional pendidikan, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.[6]
b. Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005
Ketentuan terkait standar nasional pendidikan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah No 19 Tahun 2005 yang menjelaskan secara rinci ke-8 standar nasional pendidikan. Salah satu dari 8 (delapan) standar nasional pendidikan yang mempunyai kaitan dengan pelaksanaan ujian nasional adalah standar penilaian pendidikan.[7]
Pasal 63 ayat 1 PP No 19 Tahun 2005 menjelaskan tentang penilaian pendidikan pada jenjang dasar dan menengah. Dimana terdiri dari penilaian hasil belajar oleh pendidik, penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, dan penilaian hasil belajar oleh pemerintah. Ujian nasional merupakan bentuk penilaian hasil belajar oleh pemerintah yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu yang digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu program dan satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan satuan pendidikan, dan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan (Pasal 68 PP No 19 Tahun 2005).[8]
Dengan demikian ujian nasional memiliki dasar hukum yang kuat dan di akui oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pro dan Kontra Terhadap Ujian Nasiional
Ketentuan baru Ujian Nasional (UN) oleh Depdiknas yang dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional menuai protes dari beberapa kalangan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kurangnya sosialisasi dari pihak Depdiknas. Kebijakan Ujian Nasional (UN) terkesan mendadak karena seringkali diinformasikan beberapa bulan menjelang pelaksanaan UN kepada pihak-pihak terkait. Seperti informasi Ujian Nasional tahun ajaran 2005/2006 baru disosialisasikan 18 Oktober 2005. Dengan waktu yang singkat ini sepertinya sulit bagi pihak-pihak yang terkait, terutama pihak sekolah untuk mempersiapkan diri dengan baik menghadapi Ujian Nasional (UN) ini.
Pihak sekolah menjadi kaget dan gugup menghadapi kebijakan baru Ujian Nasional (UN). Seharusnya pemerintah melalui Depdiknas mensosialisasikan Ujian Nasional (UN) ini secara sistematis, bertahap dan berkelanjutan. Misalnya, untuk lima tahun ke depan akan dilakukan Ujian Nasional (UN) dengan standar kelulusan yang berbeda. Ujian Nasional yang pertama kali diperkenalkan tahun ajaran 2002/2003 dengan istilah Ujian Akhir Nasional (UAN) seharusnya Depdiknas menetapkan standar kelulusan yang berbeda dan meningkat dari tahun ke tahun untuk lima tahun kedepan. Contohnya, untuk tahun ajaran 2002/2003 standar kelulusan 3,01; tahun ajaran 2003/2004 standar kelulusan 4,01; tahun ajaran 2004/2005 standar kelulusan 4,26; tahun ajaran 2005/2006 standar kelulusan 4,50 dan tahun ajaran 2006/2007 standar kelulusan 5,01. Dengan penetapan standar kelulusan yang sistematis, bertahap dan berkelanjutan maka pihak-pihak yang terkait di lapangan (dinas pendidikan, sekolah, guru, siswa dan orang tua) dapat mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.
Kedua, adanya disparitas yang tinggi tentang mutu sekolah baik dalam satu daerah maupun antar daerah. Realitas di lapangan menunjukan mutu sekolah berbeda-beda, baik dari aspek siswa, guru, fasilitas, sumber dana, maupun manajemen. Dengan perbedaan ini tentu kurang bijaksana kalau diterapkan standar yang sama untuk persyaratan kelulusan. Seharusnya Depdiknas menetapkan standar kelulusan yang berbeda dengan memperhatikan kondisi riil daerah dan sekolah.
Ketiga, hasil Ujian Nasional (UN) yang hanya menguji beberapa mata pelajaran dan hanya bersifat kognitif tidak serta merta dapat dijadikan indikator tentang mutu pendidikan. Kalangan yang menolak Ujian Nasional (UN) berpandangan bahwa untuk mengukur standar mutu pendidikan harus dilihat struktur pendidikan secara menyeluruh termasuk non-akademis, proses dan input pendidikan. Meningkatkan standar mutu pendidikan tentu tidak sesederhana hanya dengan meningkatkan angka standar kelulusan. Secara substansial harus ditopang dengan pembenahan-pembenahan persoalan pendidikan secara mendasar dan komprehensif, seperti gedung sekolahan yang rusak berat, banyaknya siswa putus sekolah, kekurangan guru, kekurangan buku pelajaran, penyediaan komputer yang terbatas, dan laboratorium yang belum standar serta persoalan pendidikan lainnya.
Keempat, hasil Ujian Nasional (UN) selama ini tidak ada tindak lanjutnya. Para praktisi pendidikan, terutama guru selama ini kurang merasakan adanya manfaat nyata dari Ujian Nasional (UN), terutama dalam hal peningkatan kualitas mengajar. Ujian Nasional (UN) lebih sekedar kegiatan rutin tahunan. Seharusnya pasca Ujian Nasional (UN) dilakukan pelatihan intensif terhadap guru bidang studi yang siswanya banyak yang gagal dalam Ujian Nasional (UN).
Kelima, Ujian Nasional (UN) di SMA/SMK kurang mempunyai relevansi dengan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. Siswa SMA yang dinyatakan lulus dengan nilai Ujian Nasiona (UN) yang tinggi tetap harus ikut seleksi untuk masuk ke Perguruan Tinggi. Sepertinya tidak ada koordinasi antara Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah dengan Pendidikan Tinggi. Pihak Perguruan Tinggi sepertinya “tidak percaya” dengan hasil Ujian Nasional (UN) yang diselenggarakan manajemen pendidikan dasar dan menengah. Padahal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 68 dinyatakan bahwa hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.
Bersamaan aksi protes dari beberapa kalangan seputar Ujian Nasional (UN), terjadi ketakutan yang berlebihan dari pihak-pihak yang berkecimpung secara langsung dalam pendidikan (Dinas pendidikan, kepala sekolah, guru, orang tua dan siswa) terhadap hasil Ujian Nasional (UN). Mereka seakan takut menerima kenyataan kalau nanti banyak siswa yang tidak lulus dalam Ujian Nasional (UN), sehingga mereka berupaya menolak Ujian Nasional (UN) yang dianggap merugikan. Ketakutan mereka disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, tradisi kelulusan 100%. Sistem ujian sekolah yang berlaku mulai tahun 1965 dan diganti dengan sistem evaluasi belajar tahap akhir nasional (Ebtanas) yang mulai diterapkan tahun 1982 seolah “meninabobokan” para pelaku pendidikan di lapangan, terutama guru dan kepala sekolah. Dengan sistem ini dimungkinkan siswa dapat lulus 100%, karena sekolah (guru dan pihak lainnya) dapat bermain-main dengan angka agar kelulusan dapat mencapai 100%. Kesan adanya “mark up” nilai sulit dihindari. Tanpa bermaksud memojokan, kesan itu mudah diketahui dari nilai yang diperoleh siswa saat mengikuti Ebtanas. Dengan nilai ebtanas murni (NEM) di bawah angka tiga banyak siswa dinyatakan lulus, karena nilai mata pelajaran lain ditinggikan, sehingga nilai rata-rata melampaui batas minimal nilai yang dipersyaratkan untuk bisa lulus ujian (misalnya rata-rata 6,00). Tradisi kelulusan 100% sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan, karena tidak mendorong siswa untuk belajar keras dan guru untuk bekerja keras. Guru tidak tertantang oleh keadaan untuk lebih mempersiapkan diri sebelum masuk ruang kelas. Tidak ada budaya kompetisi baik bagi siswa maupun guru, sebab nantinya juga lulus 100%.
Kedua, adanya budaya malu terhadap kekurangan diri sendiri. Ada kekhawatiran melalui hasil Ujian Nasional (UN) akan menunjukan lemahnya kinerja dan kompetensi para praktisi pendidikan di lapangan selama ini. Sehingga ada kesan bahwa selama ini ada upaya mengadakan manipulasi terhadap hasil Ujian Nasiional (UN). Kalau memang praktisi pendidikan di lapangan sudah merasa bekerja secara profesional, maka tidak akan takut dengan standar kelulusan 4,50.
Ketiga, adanya kekhawatiran akan terjadinya keresahan dan gejolak sosial di masyarakat. Dengan banyaknya siswa yang tidak lulus dalam Ujian Nasional ada kekhawatiran dari beberapa kalangan akan terjadi gejolak sosial. Pandangan ini kurang berdasar, karena sudah saatnya masyarakat Indonesia diajarkan mau menerima kenyataan sepahit apapun. Sudah saatnya masyarakat Indonesia dididik untuk bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.
3. Ujian Nasional dan Mutu Pendidikan
Pro kontra seputar Ujian Nasional (UN) tidak seharusnya terjadi kalau semua pihak saling memahami dan menempatkan Ujian Nasioinal (UN) secara proporsional. Pihak pemerintah melalui Depdiknas harus merancang sistem ujian atau penilaian yang sistematis, bertahap dan berkelanjutan. Sistem penilaian harus dapat difungsikan untuk mendeteksi potensi dan kompetensi siswa sekaligus bisa memetakan kompetensi guru dalam keberhasilan pembelajaran di kelas.
Hasil Ujian Nasional (UN) juga harus ditindaklanjuti dengan berbagai program yang dapat meningkatkan mutu pendidikan secara komprehensif. Sistem penilaian (UN) harus mampu: memberi informasi yang akurat; mendorong siswa untuk belajar; memotivasi guru dalam pembelajaran; meningkatkan kinerja lembaga; dan meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan sistem penilaian yang demikian diharapkan secara berangsur-angsur mutu pendidikan di tanah air akan meningkat.
Di lain pihak, para praktisi pendidikan di lapangan, terutama guru dan Kepala Sekolah harus meningkatkan kompetensi dan kinerjanya, sehingga kualitas pembelajaran di kelas akan meningkat dan pada gilirannya akan meningkatkan mutu pendidikan. Dengan demikian berapapun standar kelulusan yang akan ditetapkan pemerintah akan selalu siap, tanpa ada rasa takut dan kaget.
Di sisi lain pula para siswa dan orang tua juga akan tumbuh kesadaran bahwa untuk mencapai hasil yang memuaskan harus ditempuh dengan kerja keras, sehingga anggapan dalam ujian pasti lulus 100% hilang dari pikiran mereka. Kalau semua pihak sudah pada pemikiran, kesadaran, dan tindakan yang sama, maka mutu pendidikan di Indonesia perlahan-lahan namun pasti akan meningkat.
Upaya peningkatan mutu pendidikan tidak bisa ditempuh dengan cara parsial tetapi harus holistik dengan melibatkan semua pihak yang terkait dalam dunia pendidikan.
C. Kesimpulan dan Penutup
Ujian Nasional (UN) sebagai sebuah evaluasi secara nasional harus tetap dilaksanakan walaupun pelaksanaannya telah menuai pro dan kontra. Untuk mengefektifkan pelaksanaan Ujian Nasional hendaknya :
1. Pemerintah membuat petunjuk teknis pelaksanaan Ujian Nasional (UN) setidak-tidaknya satu tahun sebelum pelaksanaan Ujian Nasional (UN) dilaksanakan;
2. Pemerintah memfasilitasi guru mata pelajaran yang diujikan untuk meningkatkan kompetensi mereka;
3. Pemerintah membuat konsep Ujian Nasional (UN) yang bukan hanya menitik beratkan pada ranah kognitif (knowledge) saja tetapi juga ranah afektif (value) dan psikomotorik (skill);
4. Komponen sekolah, yaitu kepala sekolah, guru, staf tata usaha, peserta didik dan wali murid peserta didik bekerja sama dalam persiapan menghadapi Ujian Nasional (UN);
5. Guru mata pelajaran yang diujikan harus senantiasa berkreasi untuk meningkatkan mutu pembeajaran.
6. Peserta didik belajar secara kontinu.
Demikianlah pembahasan makalah tentang tinjauan kritis penulis terhadap upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui Ujian Nasional (UN). Semoga makalah sederhana ini bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca.
Daftar Pustaka


Arifin, Anwar. 2003. Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang SISDIKNAS. Jakarta : Ditjen Kelembagaan Agama Islam DEPAG

Arikunto, Suharsini. 1996. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara

Darmaningtyas. 2005. Pendidikan Rusak-Rusakan. Yogyakarta : LKiS

Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi : Konsep, Karakteristik, Implementasi dan Inovasi. Bandung : Remaja Rosda Karya

Nurdin, Syafrudin. 2005. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum. Jakarta : Quantum Teaching

www.lpmpdki.web.id

[1] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi : Konsep, Karakteristik, Implementasi dan Inovasi, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2003), hlm. 15
[2] Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan, ( Yogyakarta : LkiS, 2005), hlm. V
[3] Syafrudin Nurdin, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, (Jakarta : Quantum Teaching, 2005), hlm. 1
[4] Suharsini Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hlm. 9
[5] www.lpmpdki.web.id
[6] Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang SISDIKNAS, (Jakarta : Ditjen Kelembagaan Agama Islam DEPAG, 2003), hlm. 49
[7] www.lpmpdki.web.id
[8] Ibid.

24 Januari, 2009

suara hati untuk mantan-mantan kekasih

Lagu Sheila on 7 tlah mengingatkanku pada dirimu, mantan-mantan kekasihku. Ku yakin kau tlah bahagia dengan kekasihmu sedang aku kini masih berusaha tuk mendapatkan cinta sejatiku, bidadariku masih belum yakin akan cintaku kepadanya.

Walau kini kita tak lagi saling mencintai tapi ku berharap tali silaturahmi diantara kita tak akan pernah putus dan slalu ku doakan agar kau mendapatkan kebahagiaan dari kekasihmu, doaku slalu menyertai kalian.

Kita punya banyak kenangan manis, bernostalgialah dengan kenangan itu jika kangen denganku tapi ingat kalian juga harus membuat kenangan-kenangan manis juga dengan kekasihmu. Akupun akan selalu mengingat kenangan-kenangan kita, semua akan menjadi sebuah bingkisan manis dalam hatiku.

Tak mampu kuungkapkan dengan kata-kata yang indah untukmu duhai mantan-mantanku, kudedikasikan puisi "Pelangi-pelangi" ini untukmu

Pelangi-pelangi

Pada pelangi-pelangi kubalutkan sewarna asa
melintas indah di pepohonan
Anganpun membawaku terbang ke pelangi-pelangi

Kemudian adalah pesona,
pelangi-pelangi memandangiku lama-lama
Kemudian adalah pesona,
pelangi-pelangi membawaku ke alam mereka
masa lalu yang indah walau kurasa hanya sekejap

Pelangi-pelangi, tersenyumlah
Kenangan-kenangan itu tlah kubalut dengan indah warnamu.

20 Januari, 2009

Israel is very cruel, let's boycot israel

Terlalu banyak hukum internasional dan etika perang yang dilanggar Israel dalam rangkaian gempurannya atas Gaza yang, menurut Amnesty International per 7 Januari, telah menewaskan lebih dari 700 dan melukai sekitar 3.000 orang.
Korban luka yang kelak selamat pun mungkin akan mengidap kanker, karena Israel menggunakan bom gas fosfor putih. Senjata kimia ilegal ini bisa menimbulkan kerusakan fisik hingga ke tulang – atau mengubah tubuh menjadi serpihan.
Dr Mads Gilbert, anggota tim relawan medis Norwegia yang bekerja di Gaza, masih mendokumentasikan penggunaan bom-bom ilegal itu, yang terkategori Dense Inert Metal Explosive (DIME). Dr Gilbert, yang telah berpengalaman di wilayah konflik, menyatakan situasi di Gaza merupakan yang terburuk yang pernah dia saksikan.
Dua sekolah PBB terkena bom, menewaskan 30 anak di dalamnya. New York Times, Senin lalu melaporkan, rumah sakit di Gaza penuh warga sipil, bukan serdadu Hamas.
Membidik sasaran sipil melanggar Konvensi Geneva ke-4. Lontaran roket-roket Hamas ke wilayah Israel, yang tidak membedakan kombatan dan nonkombatan, adalah ilegal, meski korban aktualnya sejauh ini hanya enam orang; dan sepanjang satu tahun sebelum serangan ini tidak menewaskan satu pun warga Israel.
Jadi gempuran Israel lebih terkait dengan persaingan politik di Tel Aviv menjelang pemilu Februari. Partai Kadima yang berkuasa ingin menunjukkan ia pun bisa sekeras Likud, yang menjadikan ketidaktegasan partai Tzipi Livni (calon favorit PM) itu terhadap Palestina sebagai kartu untuk mengalahkannya.
Tapi yang dilakukan Israel, dengan gempuran udara dan daratnya, melanggar Konvensi Geneva secara sangat serius. Korban sipil terlalu banyak, sampai 25 persen dari seluruh korban, seperti terlihat dari mereka yang dirawat. Dari segi ini dalih bahwa jatuhnya warga sipil hanya ekses sulit diterima. Yang lebih mungkin: Israel tidak membedakan militer dan sipil – atau setidaknya tak cukup sungguh-sungguh membidik eksklusif serdadu Hamas.
Boleh jadi ini bagian dari strategi Israel untuk mengucilkan atau menurunkan popularitas Hamas di mata warga Palestina, atau warga Gaza khususnya. Dengan banyaknya korban jiwa dan bangunan sipil, warga Gaza akan menyalahkan Hamas, yang memang suka memprovokasi Israel (yang juga merupakan strategi Hamas agar tampak kredibel di mata warga Palestina, untuk membedakannya dari Fatah-PLO yang terkesan lunak terhadap Israel).
Serangan Israel merupakan penghukuman kolektif terhadap seluruh warga Gaza karena tindakan sejumlah serdadu Hamas. Gempuran itu juga merupakan reaksi yang jauh melampaui proporsi. Ini memang doktrin Israel sejak ia berdiri: menyerang besar-besaran dengan mendefinisikannya sebagai pembalasan; atau menyerang duluan dengan dalih mencegah ancaman potensial menjadi aktual; taktik pre-emptive strike temuan Israel ini kemudian ditiru AS di Irak.
Alasan keempat yang membuat Israel melanggar Konvensi Geneva: ia memblokade Gaza dari bantuan pangan dan obat-obatan, sehingga menimbulkan krisis kemanusiaan di wilayah mini berpenduduk 1,5 juta jiwa itu. Gempuran Israel sejak dua pekan silam sesungguhnya puncak dari blokade yang dilakukannya selama dua tahun terakhir.
AS memberikan sumbangan besar, hampir secara langsung, terhadap gempuran Israel kali ini. Menurut Marjorie Cohn, Direktur Pusat Studi Timur Tengah Universitas San Francisco, Amerika melanggar hukumnya sendiri.
AS memberi bantuan US$3 miliar per tahun kepada Israel. Dana pajak rakyat AS inilah yang digunakan Israel untuk membeli jet F-16 dan helikopter tempur Apache yang dipakai untuk menggempur Gaza sekarang. UU Bantuan Keamanan dan HAM melarang AS membantu Israel, yang terlibat pelanggaran berat HAM sebagaimana diakui oleh masyarakat internasional, dalam pola yang konsisten.
UU Pengendalian Ekspor Senjata melarang persenjataan AS digunakan selain di dalam batas negara demi membela diri.
“Mengebom gedung-gedung sekolah, kantor polisi dan stasiun penyiaran bukanlah pembelaan diri,” kata Cohn, yang juga profesor hukum dan presiden Gilda Pengacara Nasional (marjoriecohn.com).
New York Times mengutip sejumlah pakar Timur Tengah yang yakin bahwa serangan Israel kali ini sebagai “aji mumpung” – mumpung Presiden Bush masih duduk di Gedung Putih. Karena itu harapan tinggal pada presiden terpilih Barack Obama, sebagai kepala negara satu-satunya yang mampu menghentikan kebuasan Israel yang melanggar semua hukum dan etika perang.
Maka kebungkaman Obama, selain sangat disayangkan, juga aneh, mengingat begitu banyak hal yang selama ini dikomentarinya dengan tegas, termasuk isu-isu luar negeri yang panas seperti Irak dan Afghanistan.
Dunia memang tidak mungkin berharap Obama bersikap keras terhadap Israel atau berpihak pada Palestina. Tapi dunia tentu pantas berharap agar Obama memahami bahwa yang sedang terjadi di Gaza bukanlah perang, melainkan krisis kemanusiaan.

19 Januari, 2009

My Angel

Semua orang punya perjalanan hidup yang unik, begitu juga aku dan dari perjalanan itu tentu saja kita mempunyai suatu harapan, harapan untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akherat. Hampir semua perjalanan seseorang didominasi oleh perjalanan cintanya.

Yah CINTA, suatu kata yang sungguh indah apabila di dalamnya ada kebahagiaan dan suatu kata yang sungguh menyakitkan bila didengar apabila di dalamnya cuma ada penderitaan.
Hadirnya cinta bisa merubah kehidupan seseorang, menjadi baik atau malah bisa menjadi buruk.

Sudah berapa kali anda jatuh cinta?
Sudah berapa kali anda menjalin hubungan dengan seseorang?
Sudah berapa kali anda gagal dalam menjalin hubungan seseorang?

Huh ingin rasanya aku dapatkan cinta yang sesungguhnya dari seseorang yang aku cintai.
Kini kutemui orang tersebut, dengan hadirnya hidupku berubah seolah ada cahaya yang masuk ke jendela hatiku menerangi hatiku.
Sungguh kurasakan kebahagiaan saat bersamanya.

Saat kebahagiaan itu kurasakan, aku menjadi takut kalau kebahagiaan tersebut tidak ia rasakan saat bersamaku.
saat kebahagiaan itu kurasakan, aku menjadi takut kehilangan ia.
Ku hanya bisa berusaha dan berdoa sekuat sekuat hati dan jiwaku untuk membuatnya percaya dan mau hidup selamanya bersamaku. Yah, menjadi istriku di dunia dan menjadi bidadariku di surga.

Ya Allah, jika ia adalah jodoh hamba, dekatkan dan satukanlah ia dengan hamba. Namun jika ia bukanlah jodoh hamba, jangan biarkan hamba jauh dariMU dan larut dalam kesedihan.
Doa itulah yang slalu ku layangkan kepadaNYA agar DIA menyatukanku dengannya.

Ingin sekali rasanya ku slalu memeluknya, melindunginya dan hidup bersamanya di dunia adn di surga.

Bidadariku, terima kasih untuk kasih sayang yang tlah kau berikan kepadaku.

03 Januari, 2009

You’re beautiful

My life is brilliant.My love is pure.I saw an angel.Of that I'm sure.She smiled at me on the subway.She was with another man.But I won't lose no sleep on that,'Cause I've got a plan.You're beautiful. You're beautiful.You're beautiful, it's true.I saw you face in a crowded place,And I don't know what to do,'Cause I'll never be with you.Yeah, she caught my eye,As we walked on by.She could see from my face that I was,Flying high,And I don't think that I'll see her again,But we shared a moment that will last till the end.You're beautiful. You're beautiful.You're beautiful, it's true.I saw you face in a crowded place,And I don't know what to do,'Cause I'll never be with you.You're beautiful. You're beautiful.You're beautiful, it's true.There must be an angel with a smile on her face,When she thought up that I should be with you.But it's time to face the truth,I will never be with you.
Lagu itu dinyanyikan oleh james Blunt, judulnya You're beautiful. lagu itu nyeritain tentang seorang lelaki yang jatuh cinta pada seorang gadis yang cantik, ia seperti bidadari. Wah, si lelaki itu bertemu dengan si gadis di Sub Way alias kereta bawah tanah, di tengah keramaian gitu lah....
Niat hati itu lelaki pengin deket dengan si cantik tapi sayang nampaknya si cantik dah punya pacar, singkat cerita si lelaki itu pesimis to dapetin si cantik dan ia merasa nggak bakalan bisa dapetin si cantik itu iapun hidup dala kehidupan yang pesimistis dalam bercinta.
Sobat, begitulah cinta deritanya tiada pernah berakhir...itu kata si Pat Kay
Yang jelas cinta adalah aktualisasi dari nafsu, nafsu untuk memiliki padahal orang yang kita cintai dan ingin kita miliki itu adalah milikNYA sehingga orang-orang tua kita mengatakan kalau jodoh itu/pasangan kita dah ditentukan sama Yang Di atas, yap aku sepitu buanget. Dengan keyakinan seperti itu kita takkan pernah takut untuk kehilangan orang yang kita cintai.
Bukankah orang yang kita cintai adalah milikNYA so kalau emang orang yang kita cintai adalah jodoh kita pasti ia akan hidup bersama kita selamanya.
Bro, pasti kita punya cerita cinta masing-masing. jalani saja alur cerita cinta itu mengalir apa adanya seperti air yang mengalir karena semua udah ditentukan olehNYA, tentu saja itu tanpa mengesampingkan ikhtiar kita dan untuk itu silahkan berikhtiar tapi jangan biarkan nafsu itu membelenggu hati kita karena kita terlalu mencintainya.